Menggugat Kemanusiaan dan Integritas Kepolisian RI

(Ilustrasi)


(Sebuah kritik bagi penegakan hukum dalam wilayah Polda NTT)

Akhir-akhir ini institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) di bawah Pimpinan Kapolri Jenderal Idham Aziz patut diberikan apresiasi. Spirit Polri yang melindungi, mengayomi dan melayani kian hari semakin "sedikit" dirasakan oleh masyarakat.

Khusus dalam masa pandemi covid-19, Institusi Polri dan TNI menjalakan tugas sebagai garda terdepan dalam upaya mitigasi melalui kampanye pencegahan covid-19 untuk membangkitkan kesadaran masyarakat memutus mata rantai penularan virus corona ini, maupun Polri hadir dalam tindakan nyata memberikan bantuan sembako kepada masyarakat kecil, misalnya yang dilakukan oleh dua personal Polda NTT Bripda IF (19) dan Bripda NK (21) seorang Polwan yang bertugas di Polda NTT. (Catatan: Mungkin masih banyak anggota Polri yang melakukan tindakan yang sama tapi tidak terpublikasi ke media)

Namun dibalik apresiasi publik terhadap kinerja dan prestasi ini, animo publik khususnya masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) terus menggugat integritas institusi Polri dalam hal tindakan yang menampilkan pendekatan kemanusiaan (Human aprroach).

Bagaimana tidak, dalam rentang waktu yang bersamaan, dalam pekan ini telah terjadi tindakan tidak manusiawi yang ditunjukkan oleh "Oknum-oknum Polisi" di dua Kepolisian Resort (Polres) yang berbeda.

PERTAMA, kasus yang terjadi di Kecamatan Biboki Anleu, Kabupaten TTU pada Senin (27/04/2020). Kasus ini menimpa salah satu pelajar SMA, berinisial EF yang diduga dikeroyok dan dianiaya oleh 5 (lima) oknum anggota Polres TTU yang menyebabkan korban EF harus dirawat di RS. Leona Kefamanenu akibat memar dan  luka di wajahnya.

KEDUA, kasus yang sama yaitu tindakan pengeroyokkan dan penganiayaan oleh anggota Polresta Kota Kupang terhadap FR (43) seorang warga Kec. Maulafa, Kota Kupang yang diduga korban FR adalah pelaku penjambretan (pencuri) HP. Setelah dikonfirmasi kepada pemilik HP (korban yang HPnya hilang) ternyata FR bukan pelakunya. Akhirnya korban FR dilepaskan pulang ke rumah dengan wajah yang memar.

Dua kasus ini hanya representasi dari kasus-kasus lain yang mungkin saja terjadi di beberapa tempat lain yang hingga saat ini belum jelas penyelesaiannya dan diduga "mengendap" dalam lembaga penegak hukum ini.

Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, kita menginginkan agar penegakan hukum dalam setiap lembaga dan institusi pemerintahan berjalan sesuai dengan konstitusi dan aturan yang berlaku.

Hasil Survey LSI Denny JA yang dirilis pada September 2019, menunjukkan bahwa Tingkat Kepercayaan Publik terhadap Polri menurun. Jika pada 2018, tingkatan kepercayaan publik terhadap Polri 87,8%, pada tahun 2019 merosot 15 persen menjadi 72,1%.

Hasil survey tersebut menjadi catatan khusus bagi Pimpinan Polri agar berbenah dan menata sistem dalam tubuh Kepolisian agar menjadi lebih baik. Terkait dua kasus yang telah disampaikan di atas, ini akan menjadi perhatian sekaligus penilaian masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) terhadap Pimpinan Polri dalam upaya penegakan dan penindakan hukum terutama apabila itu berkaitan dengan oknum anggotanya.

Tindakan penganiayaan yang dilakukan oknum polisi terhadap dua korban dengan alasan apapun menurut saya tidak dapat dibenarkan karena dari keterangan kedua korban, tidak terdapat upaya "perlawanan" yang dilakukan korban terhadap oknum polisi ketika melakukan penangkapan. Selama korban masih bekerja sama maka pendekatan kemanusian adalah hal yang diutamakan.

Dalam tindakan penangkapan dan penahanan harus mematuhi SOP yang telah diatur. Jika tindakan tersebut diluar SOP, maka termasuk melanggar UU dan juga kode etik kepolisian sehingga harus ditindak secara tegas dan perkembangan kasusnya harus secara transparan disampaikan ke publik melalui media cetak maupun elektronik.

Profesionalitas dan integritas akan menjadi tolak ukur bagi publik NTT dalam memberikan penilaian dan kritis terhadap kinerja yang dicapai oleh institusi Polri.


Penulis :Marianus K. Haukilo (Ketua Imapi 2015-2017)

Post a Comment

أحدث أقدم